01 August 2011

Pagi Yang Berwarna


01 Ramadhan 1432 H

Pukul 04.55 dengan diantar kakak tercinta saya sudah menyusuri jalanan kota Tegal menuju agen bis langganan saya. Iya betul, Nusantara, kok tau sih? Sampai di agen, langsung membeli tiket, dan alhamdulillah dapat nomor 3, artinya baris 1 kolom C (lo kata excel? Xixi…). Buat yang nggak pernah naik bis (mana suaranyaaa? :p), bangku nomor 3 itu letaknya di baris paling depan, ada tulisannya kok di bagian atas, dekat tempat barang.

Peristiwa 1

Setelah membeli tiket, saya langsung cari tempat duduk di ruang tunggu, saya pilih duduk di sebelah seorang mbak-mbak (atau adik-adik? Hmm…pengulangan kata ‘mbak’ mengacu pada seorang wanita yang berusia sedikit di atas kita. Sedangkan pengulangan kata ‘adik’ sepertinya tidak bisa berarti seseorang yang berusia di bawah kita, tapi lebih dekat artinya dengan…ah sudahlah, tidak usah dibahas. Kita sebut saja ‘si mbak’). Si mbak tadi duduk dengan posisi yang agak menyusahkan bagi orang lain yang ingin duduk di samping kanan atau kirinya. Untuk anda ketahui, bangku di ruang tunggu agen bis Nusantara Tegal itu berupa bangku kayu panjang dengan sandaran di belakang dan pegangan di bagian kanan kirinya. Nah, si mbak tadi duduk di tengah. Kemudian saya duduk di samping kanannya, didahului dengan mencoba tersenyum kepadanya (tapi si mbak tidak membalas senyum saya, sedihnya). Yang menjadi masalah adalah, saya membawa satu tas ransel yang tidak mau saya letakkan di bawah, jadi saya letakkan di samping saya, tepat di samping si mbak, dan terasa agak terlalu dekat dengannya, agak takut juga hal itu membuatnya tidak nyaman. Saya berharap si mbak mau bergeser sedikit saja, mengingat di samping kirinya masih terdapat tempat kosong yang cukup untuk dia bergeser beberapa puluh senti. Tapi, si mbak tetap saja bergeming tidak mau geser. Sebetulnya tidak menjadi masalah apabila saya tidak membawa barang sebesar itu (padahal ransel saya tidak besar juga). Dan tidak menjadi masalah juga seandainya si mbak mau geser sedikit saja. Akhirnya saya menghabiskan 25 menit menunggu bis datang dengan ransel saya menempel dengan manjanya di samping kiri saya.

Peristiwa 2

Bis datang pukul 05.30, seperti biasa. Baru saja naik bis, ada seorang mas-mas yang bicara dengan sopir, intinya minta ditunggu sebentar karena kuncinya tertinggal di rumah dan saat ini sedang diambil oleh entah-siapanya. Tidak lama, si mas tadi sudah mendapatkan kuncinya yang tertinggal (sepertinya bisa dijadikan judul sebuah sinetron “Kunci Yang Tertinggal”). :D

Peristiwa 3

Sekitar 5 menit kemudian bis berangkat. Bismillah, semoga lancar. Berdasarkan pengalaman, saya sering mengalami kesulitan setiap mencoba tidur dalam bis. Begitu pula saat ini. Apalagi, sopir dengan jidat lebar (saat ini dia memakai topi, tapi maaf Mr Bus Driver, saya tetap dapat mengenali anda, muahahahaa…), terkenal dengan gaya nyetirnya yang super ngebut, salip sana salip sini, potong sana potong sini, iris sana iris sini, bakar sana bakar sini (oke, dua yang terakhir tidak dilakukannya). Jadi niat saya untuk mencoba tidur dalam bis, meskipun ngantuk (senin pagi selalu ngantuk), tidak juga bisa terlaksana karena laju bis yang terlalu kencang, ditambah lagi posisi duduk saya yang dengan mudah bisa melihat setiap peristiwa penyalipan dan pemotongan yang dilakukan Tuan Jidat Lebar. Namun sejujurnya saya menikmati ‘balapan’ ini, dan merasa beruntung hari ini mendapatkan bangku paling depan. Tegal-Pemalang ditempuh dalam waktu 20 menit saja.

Peristiwa 4

Pukul 05.55 bis memasuki terminal Pemalang untuk mengangkut penumpang. Saat bis berhenti, ada seorang ibu (penumpang dari Tegal) hendak turun dari bis, dia bilang,”Saya turun di sini saja, baru ingat rumah saya belum dikunci. Ini tadi saya mau ke Semarang, kalau minta kembalian 10 ribu saja boleh ndak, Pak?”, kondektur:”Wah, nggak bisa, Bu…”, ibu:”Ya sudah ndak papa, saya mending batal ke Semarang dari pada ndak tenang karena rumah ndak dikunci”. Dan turunlah si ibu dengan membawa travel bag dan tas cangklongnya. Kasian juga si ibu. Mungkin dia di rumah hidup sendiri sehingga tidak ada yang bisa dihubungi untuk mengunci pintu rumahnya, atau malah justru kunci rumah dibawa sendiri olehnya. Entahlah. *menerawang*

Peristiwa 5

Bis melaju kembali setelah mengangkut penumpang di terminal Pemalang. Memasuki Petarukan, kantuk saya sudah tidak tertahankan lagi, saya mencoba terpejam, dan sepertinya ada beberapa saat saya merasa tidak sadar alias tertidur. Saat bis memasuki Comal, tiba-tiba bis berhenti, dan naiklah seorang wanita muda, kita sebut saja ‘si mbak 2’. Si mbak 2 ini mengenakan baju seragam dengan logo Ford, bisa dipastikan dia bekerja di dealer mobil Ford (di kalibanteng ya kalo nggak salah? Bener nggak?). Kemudian dia duduk di bangku kernet, dekat jendela, bersebelahan dengan kondektur. Dan sepertinya si mbak 2 ini langganan tetap, karena dari obrolan mereka, si sopir dan kondektur terlihat sudah mengenalnya. Praktis, saya jadi tidak bisa tidur lagi karena terganggu suara obrolan mereka. Hal lain, Tuan Jidat Lebar tidak ngebut lagi! Ya bagus sih, karena seperti apa bahayanya coba, ngebut sambil ngobrol sambil liat-liatan sama si mbak 2. Dan yang saya sayangkan, balapannya sudah berakhir, ya sudahlah. Dari obrolan mereka, inilah fakta yang saya dapatkan (kemungkinan fakta ini tidak penting, tapi biarlah):

1. Si mbak 2 ini ternyata bernama Siska, bekerja di Ford, pulang ke Comal seminggu sekali.

2. Tuan Jidat Lebar memiliki anak perempuan yang sudah bekerja di bank. Ini agak mengagetkan, karena dia terlihat masih muda, saya pikir anaknya masih SD, paling tua SMP lah.

Saat sedang berbincang dengan Tuan Jidat Lebar dan sang kondektur, saya sempat mendengar si mbak 2 berkomentar,”Tumben pelan, Pak? Biasanya kan nyetirnya ngebut.” Tuan Jidat Lebar menjawab dengan jawaban yang tidak jelas saya dengar (iya, saya agak bermasalah dengan pendengaran saya, kadang-kadang). Tuh kan, berarti dia memang terkenal ngebut. Kalau begitu julukannya saya ganti saja menjadi Tuan Jidat Lebar Tukang Ngebut.

Dan akhirnya, saya tiba dengan selamat di kantor, dan berhasil menempelkan jempol saya di atas mesin absensi yang menunjukkan waktu pukul 06.54. Demikian lima peristiwa yang membuat pagi saya di awal Ramadhan tahun ini menjadi sangat berwarna. Biarpun cuma lima warna, tidak sebanyak warna pelangi, namun cukup membuat saya bersemangat menghadapi hari ini, hari yang biasanya saya benci. Alhamdulillah, terima kasih Allah atas pagi yang indah.

No comments:

Post a Comment